![]() |
Tokoh Islam Muhammad Rasyid Ridha |
Kali ini admin akan share 1 makalah tentang pembaharu Islam yaitu seorang tokoh yang sangat diakui ide-ide cemerlangnya. Baiklah segera simak Tokoh Islam Muhammad Rasyid Ridha
PENDAHULUAN
Dewasa ini,
muncul begitu banyak tantangan yang mesti dihadapi oleh umat Islam. Adanya
keterbelakangan dan kegelapan dalam ilmu pengetahuan modern, serta ada dan
melekatnya paham fatalisme serta pemahaman yang keliru terhadap Islam, yang secara
tidak langsung turut andil dalam usaha penghambatan kemajuan tersebut.
Islam
senantiasa memberikan respon terhadap berbagai problematika yang muncul. Respon
Islam tersebut, tidaklah lepas dari peran yang diberikan oleh tokoh yang
mengerahkan segenap kemampuan intelektualnya untuk terus melakukan pembaruan
terhadap berbagai paham yang ada dalam Islam.
Rasyid Ridha,
adalah satu dari sekian banyak pembaru, yang telah banyak menelurkan serta
menyumbangkan banyak ide dan pemikirannya bagi kemajuan umat. Dan pada
kesempatan kali ini, kami akan sedikit mengulas mengenai Rasyid Ridha serta
beberapa hal yang berkaitan dengannya.
Makalah ini
terbagi dalam beberapa bagian, yang tersusun dengan sistematika sebagai
berikut: bagian pertama, sedikit mengetengahkan tentang jati diri Ridha, serta
beberapa hal yang sekiranya mempengaruhi pembentukan ide dan pemikirannya.
Bagian kedua, mengetengahkan mengenai pemikiran-pemikiran yang dihasilkannya,
baik dalam bidang agama, pendidikan, maupun politik.
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI RASYID RIDHA
Muhammad
Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syama Al bin al-Kalamuny, dilahirkan
ditengah-tengah sebuah keluarga yang memiliki sedikit kedudukan dengan tradisi
pendidikan dan kesalehan, pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Libanon
yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria).
Semasa kecil
ia dimasukkan ke madrasah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis,
berhitung dan membaca al-Qur’an. Di tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di
al-Madrasah al-Wathaniyah al-Islamiyah (sekolah Nasional Islam) milik Syaikh
Husain al-Jisr, yang terletak di Tripoli. Di madrasah ini, selain bahasa Arab,
diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan juga, selain
pengetahuan-pengetahuan agama, juga diajarkan pengetahuan-pengetahuan modern.
Setelah itu,
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang berada di
Tripoli, walaupun demikian, hubunganya dengan Syaikh Husain al-Jisr tetap
berjalan, dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda.
Selanjutnya, ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan
Muhammad Abduh, yaitu melalui majalah al-Urwah al-Wutsqo.
Ia berniat
untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani, tetapi niat itu tak terwujud, dan
semenjak pertemuannya dengan Muhammad Abduh, pengaruh Afghani pun mulai meredup
dan tergantikan oleh pengaruh Muhammad Abduh. Dengan demikian,
pemikiran-pemikiran pembaru yang diperolehnya dari syaikh al-Jisr dan yang
kemudian diperluas dengan ide-ide yang ia peroleh dari Afghani dan Abduh,
menjadi sebuah pondasi yang kuat dan tertanam dalam jiwanya.
Tidak seperti
gurunya, Muhammad Abduh, yang lebih bisa disebut sebagai seorang yang liberal,
Rasyid Ridha mendekatkan dirinya pada ajaran Ibnu Taimiyah dan praktik-praktik
Wahabiyyah, salah satu faktor yang menuntunya pada ajaran tersebut, adalah
karena kecurigaannya terhadap tasawuf.
Setelah
menebarkan kiprah dirinya dalam banyak bidang, pada bulan Agustus tahun 1935,
sekembalinya dari Suez setelah mengantarkan Pangeran Su’ud, ia meninggal dunia
dan meninggalkan banyak ide-ide pembaruan, yang cukup memberikan pengaruh
terhadap generasi selanjutnya.
B.
BENTUK PEMIKIRANNYA
Pada dasarnya,
pemikiran-pemikiran pembaruan yang diajukan Rasyid Ridha, tidaklah banyak
berbeda dengan ide-ide yang disampaikan oleh Afghani dan Muhammad Abduh. Ia
juga berpendapat bahwasanya umat Islam mundur karena tidak lagi menganut
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Perbuatan-perbuatan mereka telah
menyeleweng dari ajaran-ajaran islam yang sebenarnya.
Sebenarnya, ia
telah mulai menjalankan ide-ide pembaruannya semenjak ia masih berada di Suria,
tetapi usaha-usahanya tersebut mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani.
Oleh karena itu, ia memutuskan untuk hijrah ke Mesir, dekat dengan gurunya,
Muhammad Abduh.
Beberapa bulan
kemudian, ia mulai menerbitkan majalah yang cukup ternama, yaitu al-Manar. Di
dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar adalah
sama dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqa, yaitu antara lain adalah
mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas
takhayul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham
fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam serta faham-faham salah yang
dibawa tarekat-tarekat tasawuf, serta meningkatkan mutu pendidikan dan membela
umat Islam dari permainan-permainan politik negara-negara Barat.
Sebagai tokoh
pembaruan yang masih condong pada ajaran-ajaran ibnu Taimiyah dan sekaligus
sebagai penyokong aliran Wahabi, ajarannya berpaham salaf yang bertujuan
mengembalikan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan hadits.
Secara umum,
pandangan Islam yang dipegang oleh Rasyid ridha, adalah seperti yang
disebarluaskan oleh Afghani dan Muhammad Abduh. Pandangan ini dimulai dari
pertanyaan tentang mengapa dunia Islam mengalami ketertinggalan dalam semua
aspek peradaban. Dan, jawaban mendasar mengenai hal tersebut adalah
ajaran-ajaran dan perintah-perintah Islam yang pada dasarnya serba mencakup,
sehingga jika dipahami dengan benar dan dipatuhi sepenuhnya, ia akan membawa
pada kesuksesan dunia dan akhirat kelak.
Umat Islam
adalah jantung dari peradaban dunia selama ia benar-benar Islami. Penyebab
ketertinggalan ini adalah dikarenakan muslim telah kehilangan kebenaran sejati
agamanya. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya penguasa-penguasa politik
yang buruk.
Menurut Rasyid
Ridha, kejayaan Islam masa lalu dapat tercipta kembali, apabila orang-orang
muslim bersedia kembali pada al-Qur’an dan perintah-perintah moral yang
terkandung di dalamnya. Sedangkan keterampilan teknis secara potensial adalah
universal, dan penguasaan atasnya tergantung pada kebiasaan-kebiasaan moral dan
prinsip-prinsip intelektual tertentu. Jika orang-orang muslim memilikinya,
mereka akan dengan mudah dapat meraih keterampilan teknis, dan
kebiasaan-kebiasaan serta prinsip-prinsip semacam itu sesungguhnya telah
terkandung di dalam Islam.
Meskipun pada
dasrnya ide-ide dan pemikiran yang dihasilkan oleh Rasyid Ridha memiliki banyak
kesamaan dengan ide-ide dan pemikiran sang Guru, Muhammad Abduh, namun,
diantara keduanya juga terdapat perbedaan. Salah satunya adalah, Muhammad
Abduh, bersifat lebih liberal dibandingkan Rasyid Ridha. Abduh tidak mau
terikat pada salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam, ia melepaskan
diri dari aliran dan mazhab yang pernah dianutnya, alasannya adalah karena ia
ingin bebas dalam menelurkan ide-ide dan pemikirannya. Pindah dari satu aliran
ke aliran lain bukanlah kebebasan, melainkan terikat pada ikatan-ikatan baru.
Berbeda dengan Rasyid ridha, ia masih memegang mazhab dan masih terikat pada
pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyah. Ia juga sangat mendukung gerakan
yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, karena ia semazhab dengannya.
Selain itu,
perbedaan antara keduanya juga terlihat dari cara mereka menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an. Bagi Abduh, ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai Wajah,
Tangan, Kursi, dan lain sebagainya, harus diberi interpretasi, dalam arti harus
dimengerti makna yang tersirat di dalammnya. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan Kursi Tuhan adalah Pengetahuan Tuhan, dan yang dimaksud dengan Tahta
Tuhan adalah Kekuasaan-Nya. Bagi Rasyid Ridha, kelihatanya, Tahta Tuhan masih
mengandung arti sebagai tahta, meskipun Tahta Tuhan tidaklah sama dengan tahta
pada manusia.
Perbedaan-perbedaan
tersebut, juga terlihat dalam karya mereka, yaitu tafsir
al-Manar, misalnya ketika Rasyid Ridha memberikan komentar terhadap
uraian Abduh dalam menyoal permasalahan mengenai balasan di akhirat yang
disebutkan dalam ayat ke-25 surat al-Baqarah. Muhammad Abduh menekankan
terhadap makna filosofis. Tafsiran iu mengandung arti bahwa balasan yang akan
diterima bersifat rohani. Rasyid Ridha dalam komentarnya lebih menekankan
balasan dalam bentuk jasmani, dan bukan dalam bentuk rohani.
Ide-ide
pembaruan Rasyid Ridha meliputi berbagai bidang, diantaranya adalah bidang
agama, bidang pendidikan, dan bidang politik, yang secara sedikit lebih
terperincinya, akan dibahas pada kalimat demi kalimat berikutnya.
1.
Bidang Agama
Setelah banyak berguru kepada Muhammad Abduh, Rasyid
Ridla berpendapat bahwa madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih
ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang
mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil
mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau
metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum . Dengan demikian bermadzhab
bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang
berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul
Fiqh adalah Mujtahid Bil-Madzhab.
Maka fanatisme
madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid
bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat adalah
sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka
dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya,
terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin
sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan taklid tidak bisa dihindarkan.
Rasyid ridha
berpendapat bahwa faktor utama yang menyebabkan umat islam lemah, adalah karena
tidak lagi mengamalkan ajaran islam yang sebenarnya. Menurutnya, Islam telah
banyak diselimuti oleh faktor bid’ah yang menghambat perkembangan dan kemajuan
umat, diantara bid’ah-bid’ah yang dimaksudkan itu ialah pendapat bahwa dalam
Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh
segala yang dikehendakinya, dan sekaligus juga memperoleh kebahagiaan di dunia
dan di akhirat. Selain itu, bid’ah lain yang juga mendapat tantangan keras dari
Rasyid Ridha, ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya
kehidupan duniawi, tawakkal yang berlebihan, serta kepatuhan yang berlebihan
terhadap syekh dan wali.
Ia berpendapat
bahwa salah satu penyebab mundurnya umat Islam lainnya adalah paham fatalisme,
karena paham tersebut menyebabkan manusia tidak memiliki etos kerja dan
cenderung tidak mau berpacu atau pasrah dengan keadaan. Menurutnya, salah satu
penyebab kemajuan Eropa adalah paham dinamika. Dalam pandangannya, sifat
dinamis tersebut pada dasarnya telah dimiliki oleh Islam, karena itu Islam
harus bersikap aktif dan memberikan penghargaan terhadap akal. Dinamika dan
sifat aktif itu terkandung dalam kata jihad, jihad dalan arti
berusaha keras, dan bersedia berkorban untuk mencapai tujuan perjuangan.
Faham jihad serupa inilah yan menyebabkan umat islam di zaman
klasik dapat menguasai dunia.
Rasyid Ridha,
sebagaimana Muhammad Abduh, menghargai akal manusia. Meskipun, penghargaannya
terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan oleh Muhammad Abduh.
Baginya, akal dapat dipakai dalam hal yang berkenaan dengan hidup
bermasyarakat, dan tidak terhadap hal-hal yang berkenaan dengan ibadah. Ijtihad
tidaklah diperelukan dalam persoalan ibadah. Ijtihad hanya diperlukan dalam
menghadapi persoalan-persoalan bermasyarakat. Ijtihad juga tidak diperlukan
terhadap ayat dan hadits yang mengandung arti tegas, namun hanya terhadap ayat
dan hadits yang tidak mengandung arti tegas, serta terhadap persoalan-persoalan
yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits. Disinilah letak dinamika
Islam dalam pandangan Rasyid Ridha.
Umat islam
harus menggali kembali teks al-Qur’an tanpa harus terikat pada pendapat para
ulama terdahulu, sebab, akal dapat memberikan interpretasi atau pemahaman ulang
terhadap teks-teks al-qur’an dan hadist yang tidak mengandung arti tegas, atau
bersifat dhanny, apalagi persoalan-persoalan yang tidak
terkandung dalam al-qur’an dan hadits.
Untuk
mengatasi sikap fanatik terhadap pendapat para ulama terdahulu, Rasyid Ridha
menganjurkan terhadap adanya toleransi bermazhab. Yang perlu dipertahankan
dalam kesamaan faham umat, menurutnya hanyalah mengenai hal-hal mendasar saja
(misalnya mengenai masalah ke-Tuhan-an), sedangkan dalam hal perincian dan
bukan dalam hal yang mendasar, diberikan kemerdekaan bagi tiap orang untuk
menjalankan mana yang disetujuinya.
Rasyid Ridha
melihat perlunya diadakan penafsiran modern terhadap al-Qur’an, yaitu
penafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan oleh gurunya. Ketika
Muhammad Abduh memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-azhar, ia
menuliskan keterangan-keterangan yang diberikan oleh gurunya tersebut, dan
kemudian disusun dalam bentuk karangan teratur dan diperiksa kembali oleh
Abduh, selanjutnya, karangan itu ia siarkan dalam al-Manar. Yang
dikemudian hari, menjadi titik awal tersusunnya tafsir al-Manar. Namun,
Muhammad Abduh hanya sempat menyelesaikan penafsiran hingga ayat ke-125 dari
surat an-Nisa (jilid III dari tafsir al-Manar), dan selanjutnya,
diteruskan oleh Rasyid Ridha sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan oleh
sang guru.
Menurut Rasyid
Ridha, umat harus dibawa kembali kepada ajaran islam yang sebenarnya, murni
dari segala bid’ah yang ada. Dan dalam pemahamannya, Islam yang murni itu
sangatlah sederhana, sederhana dalam ibadah, juga dalam muamalahnya. Ibadah
terlihat berat dan ruwet karena ke dalam hal-hal yang wajib dalam ibadah
tersebut, telah ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya
sunnah. Sedangkan, mengenai hal-hal yang sunnah ini, terdapat perbedaan faham,
dan timbullah kekacauan.
Dalam soal
muamalah, dasar-dasar seperti keadilan, persamaan, serta pemerintahan, perincian
dan pelaksanaannya, umatlah yang menentukan. Sedangkan, hukum-hukum fiqh
mengenai hidup kemasyarakatan, didasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits, namun
demikian ayat-ayat al-Qur’an dan hadits tidak boleh dianggap absolut dan seakan
tidak dapat dirubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasan tempat dan
zaman ia timbul.
2. Bidang Pendidikan
Menurut Rasyid
Ridha, membangun sarana pendidikan adalah lebih baik dibandingkan membangun
masjid. Menurutnya, masjid tidak besar nilainya apabila mereka yang shalat di
dalamnya hanyalah orang-orang bodoh. Akan tetapi dengan membangun sarana dan
prasarana pendidikan, akan dapat menghapuskan kebodohan. Dengan begitu,
pekerjaan duniawi dan ukhrawi akan menjadi baik dan teratasi.
Ia juga
mengadakan berubahan kurikulum dengan melakukan penambahan materi-materi
seperti Teologi, Pendidikan Moral, Sosiologi, Ilmu Bumi, Sejarah, Ekonomi, Ilmu
Hitung, Ilmu Kesehatan, Bahasa-Bahasa Asing dan Ilmu Mengatur Rumah Tangga
(kesejahteraan keluarga) yaitu di samping ilmu-ilmu seperti Fiqh, Tafsir,
Hadits, dan lain-lainnya yang biasa diberikan di madrasah-madrasah tradisional.
Pada tahun 1909,
ia menerima banyak keluhan mengenai aktivitas missi Kristen di negara-negara
Islam, dan untuk menandingi aktivitas tersebut, ia melihat perlunya diadakan
dan dibangun sebuah sekolah missi Islam. Akhirnya, pada tahun 1912, ia berhasil
mendirikan sekolah yang dimaksud, dengan nama al-Da’wah wa al-Irsyad.
Namun sayangnya, sekolah missi tersebut tidaklah berumur panjang, karena
terpaksa harus ditutup pada tahun 1914, yaitu ketika pecahnya perang dunia I.
Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha, berpandangan bahwasanya untuk mengarahkan dan membawa umat
Islam pada kemajuan, kuncinya terletak pada upaya memperbarui pendidikan dengan
segenap komponen yang ada di dalamya. Serta, diarahkan kepada upaya melahirkan
manusia yang memiliki keunggulan dalam bidang ilmu agama dan umum.
3.
Bidang Politik
Rasyid Ridha
mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh kedua gurunya
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan
masyarakat muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan
menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk
mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia
sufi dan kemandegan pemikiran ulama yang mengakibatkan timbulnya kegagalan
dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi. Beliau berpendapat bahwa
kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-prinsip dasar Islam dan
melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.
Ia memainkan
peran yang cukup besar dalam politik Suriah, mengadakan negosiasi-negosiasi
dengan inggris pada masa perang, sebagai presiden kongres Suriah tahun 1920,
sebagai anggota delegasi Suriah-Palestina di Jenewa pada 1921, dan komite
politik di Kairo selama Revolusi Suriah 1925-1926.
Seperti telah
tertera di atas, bahwasanya Rasyid Ridha telah memulai kiprahnya di dunia
politik semenjak masih berada di tanah airnya, dan setelah pindah ke Mesir ia
juga ingin meneruskan kegiatan politiknya. Akan tetapi, atas nasehat Muhammad
Abduh, ia menjauhi lapangan politik. Setelah gurunya meninggal, barulah ia
memulai bermain kembali dalam lapangan politik.
Di dalam
majalah al-Manar ia mulai menulis dan memuat karangan-karanga
yang menentang pemerintahan absolut kerajaan Usmani. Selanjutnya, ia juga
memuat tentang tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan Prancis untuk
membagi-bagi dunia Arab di bawah kekuasaan mereka masing-masing.
Sebagaimana
halnya Afghani, Rasyid Ridha juga melihat perlunya dihidupkan kembali kesatuan
umat Islam. karena menurutnya, salah satu sebab lain bagi kemunduran umat islam
ialah adanya perpecahan yang terjadi di kalangan umat. Kesatuan yang
dimaksudkan bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa ataupun
bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh karena itu, ia tidak
setuju dengan gerakan nasionalisme. Ia beranggapan bahwasanya faham
nasionalisme bertentangan dengan ajaran persaudaraan seluruh umat dalam Islam.
Karena, dalam persaudaraan Islam, tidaklah dikenal adanya perbedaan bahasa,
tanah air maupun bangsa.
Menurut Rasyid
Ridha, hukum dan undang-undang tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan dari
pemerintah. Oleh karena itu, kesatuan umat memerlukan suatu bentuk negara.
Negara yang dianjurkan olehnya adalah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala
negara ialah khalifah. Khalifah, karena mempunya kekuasaan legislatif, harus
mempunyai sifat mujtahid. Tetapi, khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama
merupakan pembantu-pembantunya yang utama dalam soal memerintah umat. Khalifah
adalah mujtahid besar dan di bawah kekhalifahan lah, kemajuan dapat dicapai dan
kesatuan umat dapat diwujudkan. Sedangkan, kedaulatan umat tetap berada di
tangan umat dan berdasarkan prinsip musyawarah.
Idenya
mengenai kekhalifahan tersebut, ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul al-Khilafah.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. Pembaharuan
dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1975
Taufik, Ahmad dkk, Sejarah
Pemikiran dan Tokoh modernisme Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005
Hourani, Albert. Pemikiran
Liberal di Dunia Arab, terj., Suparno dkk., Bandung: PT Mizan Pustaka,
2004
Black, Antony. Pemikiran
Politik Islam (Dari Masa Nabi Hingga Masa
Kini), terj, Abdullah Ali,
Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2006.